Jumat, 17 Februari 2012

Keris Lombok dan Sejarahnya


Keris Lombok, Pusaka tanpa Mpu
 
Tradisi adat Sasak mengenal pemakaian keris. Benda ini merupakan lambang kejantanan pria Lombok, disamping menunjukkan status sosial pemiliknya. Namun keris Lombok yang dikenal sejak berabad-abad lampau, kendati memiliki tuah, ternyata sebuah pusaka tanpa mpu. Di sisi lain, fungsi keris pun makin membias, tidak sekadar senjata ataupun menunjukkan status sosial, juga sebagai sarana pengobatan.
---------
KERIS acap digunakan dalam upacara perkawinan di Lombok. Pada saat berlangsung sorong serah, ada simbol kau tinduq yang melambangkan kepasrahan mempelai laki-laki terhadap keluarga mempelai perempuan.
Keris pun acap digunakan sebagai piranti pakaian adat. Itu semua memang berangkat dari tradisi kerajaan, yang kemudian menjalar pada upacara perkawinan berbagai lapisan masyarakat. Pasalnya, pengantin diperankan sebagai raja sehari, sehingga ia menggunakan pula keris sebagai bagian dari pakaian adat yang dikenal pada masa kerajaan. Namun bukan berarti keris sebagai benda asing di Lombok. Tradisi membawa gegaman di Lombok berlaku untuk semua golongan dan seluruh lapisan masyarakat. "Gegaman itu baik berupa keris maupun benda tajam lain lebih bersifat fungsional dan dibawa pada saat-saat tertentu," kata budayawan Lalu Agus Fathurrahman. Hampir seluruh masyarakat Lombok, katanya, masih membiasakan diri dalam soal tersebut, sehingga keris bukan barang yang baru lagi.
Dari segi fungsi, keris Lombok memang sangat dominan sebagai senjata. Karena selama periodisasi abad ke-17 hingga abad ke-19 terjadi berbagai bentuk peperangan antarkerajaan. Peperangan tersebut membuat populasi keris sangat banyak. Menurut pemerhati keris, Lalu Djelenga, keris kala itu diselipkan di pinggang atau dikenal dengan sebutan nyelep. Untuk keperluan perang acap digunakan keris sikep.
Jika dilihat dari beragamnya benda-benda tajam peninggalan bersejarah di Lombok, ada indikasi yang menunjukan pembuatan keris di daerah ini sudah dikenal sejak lama. Kecil kemungkinan keris tidak menjadi bagian di dalamnya mengingat pengaruh Majapahit pun ada di Lombok. Ketika tradisi di Lombok menggunakan keris, itu tidak lepas dari pengaruh era sebelumnya.
Toh rata-rata pemilik keris mengaku tidak tahu asal-usul keris tersebut, karena merupakan warisan secara turun-temurun. Karena menjadi warisan, keris itu pun diistemawakan. Tidak jarang keris tersebut diasap (wukuf) dan diberi bunga. Implikasinya, ia menjadi punya daya magis dan memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri.
Menurut peneliti keris, Abbas Surya, keris tergolong mendapat kedudukan istimewa di hati masyarakat. Disamping karena bentuknya yang artistik, pamornya membangkitkan sugesti, dan acap kali dianggap bertuah. Padahal, tuah tidak hanya terdapat di keris, melainkan juga pada benda-benda lain. Karena itu, keris sering digunakan sebagai media pengobatan.
Abbas sendiri mengaku memiliki keris Naga yang juga dipergunakan sebagai media pengobatan. Keris yang diperoleh dari seseorang itu dipercaya masyarakat mampu mengobati penyakit. Namun menurut Abbas, keris itu hanya sebagai alat, sedangkan yang menyembuhkan penyakit seseorang itu adalah Allah. Keris Naga, Singa, Liman dan Sulur, umumnya tergolong berpenampilan mewah dengan sarung terbuat dari gading atau kayu pilihan.
Teknik pengobatan yang diterapkan yakni dengan cara menitikkan air hingga ke ujung keris, kemudian air itu diminumkan kepada pasien yang sedang sakit. Biasanya, pengobatan dengan keris dipakai karena pasien menderita penyakit jogang alias gila. Dengan menggunakan media keris ini, seorang pasien berhasil sembuh dan kemudian menjadi TKI. "Pasien itulah, setelah sembuh kemudian menghidupi orangtuanya," tuturnya.
Menurut Abbas, keistimewaan keris dengan tuahnya tergantung pada orang yang memegangnya, bukan tergantung dari bahan apa ia berasal dan dibuat oleh siapa. "Namun kadangkala seseorang merasa cocok dengan keris itu, dan tuah bisa dengan sendirinya muncul setelah dilakukan beragam keistimewaan terhadap keris," ujarnya. "Sering pula terjadi, keris bisa memakan tuannya jika cara-cara yang dilakukan tidak tepat. Misalnya, cara mencabutnya."
Keris yang dibuat dengan pertimbangan keseimbangan bisa dengan mudah dimasuki tuah. Salah satu yang bisa dijadikan alat ukur yakni keris itu bisa berdiri dalam jangka waktu lama ketika ujungnya disentuhkan ke lantai atau meja. Dari ratusan keris yang dikoleksi di Museum Negeri NTB, terdapat 2-3 keris yang bisa berdiri seperti itu. Harga keris yang memiliki keistimewaan semacam itu bisa mencapai ratusan juta.
Selain keris-keris yang berpenampilan mewah, terdapat pula keris Lombok yang cukup polos dan berukuran kecil yang dikenal sebagai keris selepan. Keris tersebut biasanya diselipkan di pinggang bagian depan di balik baju. Oleh warga Lombok keris semacam ini sering dipergunakan sebagai azimat.
Menurut Kepala Museum Negeri NTB, R. Joko Prayitno, sebagian besar keris yang ada di Lombok datang dari Bali dan Jawa. Dari 260 keris yang tersimpan di museum misalnya, lebih dari 200 buah merupakan keris Lombok, sisanya keris Sumbawa dan Jawa. Namun belum bisa dikatakan keris itu dibuat di Lombok. "Sebab belum ada bukti material pembuatan keris di Lombok," ujarnya.
 
Era Majapahit
Diperkirakan, keris dikenal di Lombok pada masa Majapahit abad ke-15. Dalam perkembangan selanjutnya, keris Lombok lebih mirip dengan keris Bali, sedangkan keris Sumbawa baik dari suku Mbojo maupun Samawa, mirip dengan keris Sulawesi Selatan (Bugis Makasar). "Kenyataan akan gaya keris yang berbeda sebagai bukti adanya dua lintasan yang dilalui budaya keris ke NTB, yaitu lintasan utara melalui Bugis masuk ke NTB bagian timur, sedangkan lintasan Barat melalui Bali ke Lombok," papar Joko.
Kemungkinan besar hal ini berlangsung setelah era keruntuhan Majapahit pada abad ke-15 sehingga Lombok dan Sumbawa menjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Klungkung-Bali dan kerajaan Goa-Makasar yang berakhir dengan perjanjian Sagening, yakni perjanjian antara Raja Dalem Sagening, Klungkung dan Raja Alaudin, Goa, tahun 1624 yang menentukan pembagian wilayah pengaruh antara keduanya.
Akibat pengaruh itu, terdapat perbedaan dari segi ukuran keris. Keris Lombok secara umum berukuran besar dan panjang, yakni antara 58 cm sampai 71 cm. Sedangkan keris Sumbawa berukuran besar dan pendek, yakni antara 34 cm hingga 51 cm. Sementara itu keris Jawa berukuran sedang, antara 49 cm sampai 51 cm.
Walaupun terdapat perbedaan dari segi ukuran, diperkirakan Lombok tidak memiliki mpu pembuat keris, melainkan sebatas sebagai perajin. Dalam berbagai cerita dikemukakan, seorang mpu yang membuat keris secara tradisional kadang tidak merasakan bara api yang ada di tangannya. Bahkan konon pembuatan keris dilakukan dengan menggunakan tangannya. "Memang di Lombok hanya ada perajin keris pada sejumlah pande besi, tetapi belum ditemukan ada mpu keris," tukas Abbas.
 
* Riyanto Rabbah
















 

Selasa, 14 Februari 2012


Ir. Lalu Djelenga:
Keris di Lombok sebagai Senjata
Kehadiran keris di Lombok tidak lepas dari fungsi inti sebagai senjata. Pada saat kehadirannya, muncul beragam kemelut yang menyangkut peperangan antarkerajaan. Di sisi lain, diyakini bahwa Lombok pernah punya mpu. Sayangnya, tidak pernah ada catatan yang secara jelas menyebutkan mpu dimaksud. Berikut petikan wawancara Bali Post dengan pemerhati sekaligus kolektor keris, Ir.Lalu Djelenga.
----------------
Ratusan atau mungkin ribuan keris di Lombok nyata-nyata ada. Akan tetapi tidak ada bukti material pembuatan keris Lombok, sehingga bisa diklaim keris Lombok tidak punya mpu. Bagaimana sebenarnya sejarah keberadaan keris di Lombok?
Memang sebuah kenyataan ada keris hasil karya para mpu. Tetapi tidak satu pun yang tercatat dengan baik. Saya juga mencari-cari referensi tentang keris Lombok. Kenyataannya karya mereka ada. Harus diakui, ini suatu kelemahan. Sama dengan babad. Babad itu tidak ada penulisnya. Begitu juga keris, tidak ada yang tertulis bahannya di Lombok. Kelemahan orang Lombok memang kurang suka menulis. Itu yang sedang kita mulai menganjurkan budayawan menulis. Memang ada orientasi yang hilang dari masa lalu yang harus dicari-cari. Yang ada cuma Babad Selaparang, Babad Lombok. Baru belakangan ada Babad Sakra dan Babad Praya. Banyak dalam kenyataannya ada tetapi tidak tertulis. Kita cari sekarang karena besok lusa barangnya sendiri bisa tidak ada.
Bagaimana periodisasi keris Lombok?
Periodisasi keris Lombok sejalan dengan sejarahnya yang menjadi ajang perebutan pengaruh kerajaan besar sekitarnya. Dari keberadaan keris Lombok, sejarah tersebut membawa hikmah tersendiri karena keris Lombok jadi kaya dan beragam. Pertama, periodisasi Majapahit. Tanda-tanda atau bukti masuknya keris Jawa sebelum era Majapahit tidak dijumpai di Lombok. Sebaliknya meskipun Majapahit sudah runtuh pada pertengahan abad ke-15, keris Jawa masih mendominasi, termasuk kemungkinan keris yang dibuat di Lombok, tapi masih murni bergaya Jawa. Kemudian era peralihan masuk keris bergaya Makasar disamping masuk pula keris Jawa dan Madura dilengkapi dengan mulai masuknya keris Bali yang berpengaruh besar menuju terbentuknya gaya khusus keris-keris Sasak.

Pada era Pejanggik-Selaparang yakni abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18 inilah terbentuk keris gaya Lombok, tetapi karena terbatas pada lingkungan puri kerajaan tidak terlalu banyak dibuat. Pada era pasca Pejanggik-Selaparang keris Lombok secara besar-besaran dibuat sejalan dengan kemelut berkepanjangan yang terjadi. Masuk abad ke-20 sama sekali tidak ada pembuatan keris di Lombok, tidak seperti Jawa yang hingga sekarang masih ada, meskipun yang masuk kategori mpu terbatas -- selebihnya adalah pande keris komersial.
Keberadaan keris di Lombok apa ada kaitan dengan kerajaan Selaparang?
Itu berawal dari datangnya Mpu Nala kemari. Ia memberikan tanda-tanda dalam bentuk keris yang dianggap sakral sebagai benda pusaka. Mpu Nala itu utusan Gajah Mada ke Lombok, termasuk ke Bali hingga Maluku. Ia yang diutus Gajah Mada. Baru 10 tahun kemudian Gajah Mada menjelajahi Lombok dan melakukan inspeksi ke wilayah yang dianggap bagian Kerajaan Majapahit. Mereka meninggalkan tanda-tanda dalam bentuk keris. Dan keris merupakan lambang kehormatan, lambang pusaka, lambang kedudukan, pada zaman itu. Lama-lama, terutama karena kerajaan Sasak habis, ada sesuatu yang hilang. Itu yang mau kita angkat. Kira-kira 200 tahun lalu kerajaan Sasak habis. Yang tinggal kerajaan Mataram. Tetapi kerajaan Mataram juga musnah 100 tahun yang lalu sehingga banyak mereka kehilangan orientasi sebenarnya. Yang tinggal hanya masyarakat awam. Keris dianggap senjata -- kalau pegang ini jadi begitu. Hanya itu, yang berbau kedigjayaan. Padahal bukan itu. Lebih banyak keris yang menyangkut falsafah budaya.

Bagaimana keris bisa disebut bukan senjata?
Keris bukan senjata. Sultan Yogya ada yang menamakan keris sebagai putra mahkota. Masa raja mau berkelahi, kan tidak. Raja itu tidak berkelahi, tidak berperang. Itu bagian dari pakaiannya, bagian dari jabatannya, bagian dari kesehariannya. Namun seolah-olah keris sebagai senjata. Ia bisa menjadi tanda jabatan. Ini putera mahkota kerisnya begini.

Apa benar Lombok tidak punya mpu pembuat keris?
Kenyataannya barangnya ada. Cuma 100 tahun lalu ketika Belanda mendarat sudah tak ada lagi. Banyak yang berkurang. Sedikit sekali yang membuat keris. Yang saya tahu, di desa saya cuma satu orang. Di Sakra namanya Amaq Dilah, pembuat keris. Tetapi cuma itu. Sebelum itu konon ada yang telah membuatnya. Hanya saja sisanya tidak kelihatan dan tidak bisa dimasukkan dalam sejarah keris itu sendiri karena kita tidak punya bukti. Dan memang tempatnya tidak di sembarang tempat.

Bagaimana keadaan keris Lombok sekarang?
Setahu saya keris sudah tercerai berai menjadi milik perseorangan. Sisa yang dijarah Belanda mungkin masih ada di AA Biarsah. Di sana memang keris Bali. Tetapi itu cara pandang orang Bali. Ada keris Lombok. Bedanya, keris Bali dibuat di sini. Jadi jauh lebih bagus cara berpikir orang Bali zaman dulu daripada zaman sekarang. Bali zaman dulu, coba lihat Narmada, apa itu arsitektur Bali, tidak. Itu arsitektur Sasak. Itu dalam rangka mengambil hati orang Sasak.

Kalau misalnya ada keris Sasak, apa bedanya?
Antara Bali dan Sasak memang sangat mendekati. Keris Lombok mirip senjata, sehingga keris Lombok lebih kekar, besar, dan panjang, karena untuk senjata. Tetapi bukan berarti di Bali tidak ada yang seperti itu. Harus dilihat satu demi satu, kasus demi kasus. Dan itu perlu kebiasaan, sebab banyak hal yang tidak bisa diuraikan. Misalnya mengatakan ini orang Bima. Darimana tahu? Tak bisa saya jelaskan, tetapi 75 persen betul. Walaupun ketika minta dijelaskan tidak tahu karena itu bersifat insting.

Bagaimana keyakinan orang Sasak terhadap keris?
Dulu sama dengan di Bali dan di Jawa. Sekarang perkembangannya jauh berbeda. Masih ada yang melihat keris sebagai kedigjayaan. Tetapi sudah sangat sedikit. Kini hanya gemar terhadap keris. Seperti saya secara fungsi dan khasiatnya begini, tetapi tidak meyakini sepenuhnya -- hanya tahu, gemar dan senang. Kalau ada yang mengatakan keris bertuah, apa pernah dibuktikan? Saya punya keris, tetapi tidak mau saya larut. Tak mau saya diperintah jin, kalau memerintah jin saya mau. Jadi saya sengaja tidak mempelajari hal semacam itu. Itu cerita saja. Biar keris kerajaan, itu kan unntuk memperkuat legitimasinya. Sering ada yang datang orang dari desa dan mengatakan keris itu bertuah. Memang bisa mempengaruhi tiap orang, betul. Paling tidak, sugesti. Perlu diketahui, keris Lombok berawal sebagai senjata, lama-lama sebagai perlambang jati diri, sosial budaya, jabatan dan menjadi pegangan bagi suatu komunitas maupun pribadi. Kalau ia senjata, lebih enak saya pegang kelewang. Jadi hanya senang, bukan karena fungsinya sebagai senjata.

* Pewawancara: Riyanto Rabbah
Sumber Bali Post

Simbul Gajah

?